Sebut saja saya Mar, wanita berusia 18tahun, telah menikah serta tengah hamil 8bulan. Saya berani bercerita kisahku sesudah Sam (60), bapak kandungku diamankan polisi lima Bln lantas, sesudah sempat digebuki Mas Hamdi (25), suamiku.
Sebagai wanita yang tumbuh di tengah keluarga miskin dilingkungan pesisir, aku terbiasa hidup dan kerja keras menopang orang tuaku yang Nelayan Kampung kami di pulau L agak jauh dari kota dan seperti terisolir membuat tatanan kehidupan bermasyarakat disana kurang terbuka, aku pun tumbuh menjadi perawan kurang pergaulan.
Sejak berusia 11 Tahun ayah dan ibuku bercerai. Ibu kawin lagi dengan lelaki idamannya mengambil Fery, adikku. Mereka pun tinggal di kota, dirumah barunya. Sejak itu pula aku hidup bersama ayahku dirumah kami dikampung itu, karena Anto dan Santi, ke-2 kakaku sudah merantau kepulau sebrang.
kehidupanku bersama ayah terjadi Lancar Utk makan sehari-hari ayah masih dapat mencari nafkah sebagai Nelayan sedangkan aku turut membantu bibi berjualan dipasar, Hingga aku menginjak usia 17 th dan tumbuh menjadi gadis yang kata penduduk kampungku aku cukup cantik. Diusia itu aku disunting Mas Hamdi, anak lelaki bibiku.
Anda sudah dewasa nak, setelah menikah nanti jadilah istri yang taat pada suami, Ayah harap anda tidak seperti ibumu yang tergiur kekayaan lelaki lain maka anda menderita.”Kata ayah setelah menerima pinangan bibi, orang tua Hamdi.
Pesta pernikahan yang cukup mewah buat ukuran kami tak membuat aku bergembira karena pikiranku tertuju iba pada ayahku yang nantinya bakal sebatangkara kutinggalkan. Tapi aku pun sangat mencintai Mas Hamdi, suamiku.
Dimalam mula-mula kami, aku Memang lah bahagia bersama Mas Hamdi. Tengah malam itulah kuserahkan seluruh yang kumiliki padanya, sangat berkesan bagiku.
“Aku sayang anda Mar… aku Memang bahagia Mas Hamdi mengecup keningku saat kami dipembaringan, usai pesta kawin kami malam itu.
“Aku juga Mas…” Jawabanku tulus dan kami pun berpelukan erat.
Kecupan Mas Hamdi dikeningku terus turun ke pipi, hidung, dan setelah itu Mas Hamdi mengecup bibirku dan mengulumnya dalam, tangannya mulai melucuti kebaya putih kukenakan, menyabak BRA yang kupakai, lalu menyentuh puting susuku, meremas dan mencubit kecil susuku.
“Aouhhhh mass, geli mas,” terus terang baru sekali aku dijamah lelaki, perasaanku bukan bermain takut bercampur enak.
Mas Hamdi tak peduli, bagaikan singa lapar ia selanjutnya melucuti seluruh kain yang melilit badan bawahku dan juga melepaskan pakaiannya.
Santai ya sayang, sakit sedikit kok…nanti juga enak.” Kata itu ke luar dari bibir Mas Hamdi saat menindih tubuhku.
“Aahhh mass, phising (Read the Full Guide) sakit sekali Mas,” aku agak menjerit saat benda tumpul milik Mas Hamdi mengoyak vaginaku.
Tengah malam pertama itu Mas Hamdi menyetubuhiku dengan beringas, dan tak memberiku kesempatan buat mencapai klimaks yang nikmat. Tapi aku pikir mungkin itulah gaya sexs cowok pesisir yang terbiasa hidup keras sebagai nelayan.
Meski aku bahagia hidup bersama suamiku, tapi rasa Bhakti pada ayah tak sempat kusingkirkan. Meskipun kami hidup beda Hunian dengan jarak 200 meter. Namun tidak jarang kali kubawakan ayah makanan dan minuman, kebanyakan tiga hari sekali. Terlebih Mas Hamdi pun menyuruhku untuk tetap memperhatikan ayahku yang mulia dan jarang melaut lagi. Tapi selama itu segala sesuatunya masih berjalan lancar.
Hingga suatu siang, empat bulan setelah aku menikah, aku membawakan makanan dan minuman kerumah ayah yang letaknya agak terpisah dari rumah lainnya dikampung kami. Saat itu aku sudah hamil dua bulan.
“ini yah, saya bawakan sayur dan ikan, Ayah nggak usah masak lagi buat kelak malam tinggal dihangatkan saja.” kataku setiba dirumah ayah.
“Duh… makasih ya sayang. Anda ini Memang anak Berbakti.” kata ayah seraya menghampiri dan mengecup keningku.
Kupikir kecupan itu pertanda sayang seperti yang selama ini diperbuat padaku, kubiarkan saja itu dan kemudian aku ke dapur buat memindahkan makanan dari rantang yang kubawa kepiring dapur. Ayah rupanya membuntuttiku dan ikut kedapur, lalu kala tanganku sibuk menyusun piring dimeja makan, ayah memelukku dari belakang.
Kamu sudah hamil ya sayang,” tanya ayah sambil memeluk dan memegangi perutku dari belakang.
“Iya yah, sebentar lagi saya bakal kasih ayah cucu,” jawabku membiarkan ayah tetap memelukku, karena kupikir ayah sangat menyangiku.
Kalau mulai hamil, perutmu mesti sering diusap dan dipijit pelan biar bayinya nggak turun,” ayah bicara itu sambil mengusap perutku dengan posisi tetap memelukku dari belakang kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk memindahkan makanan untuk ayah.
“Si Hamdi sering mijitin anda nggak sayang,” ayahku bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja, pulangnya capek mana sempat mijitin saya. Bukannya saya sebagai istri yang mesti mijitin dia?” kujawab ayah dan melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.
Siang itu, seperti biasanya sebelum pulang aku sempatkan utk ngobrol bersama ayahku. Tidak hanya mananyakan kebutuhan apa saja yang harus kubawakan, aku juga kerab berkeluh kesah tentang sikap mertuaku, Ibu Mas Hamdi yang sampi saat itu belum bisa kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu ayah justru membicarakan masalah kehamilanku, masalah perawatan janin diperutku, termasuk juga masalah harus rajin diusap dan dipijat perutku.
“Nah…suamimu kan kelak malam melaut, anda datang kemari saja agar ayah bisa pijitin ya,” begitu pinta ayah sebelum aku pulang.
Akupun mengiyakan saja, soalnya rata rata Mas Hamdi pulangnya agak siang setelah melaut. Lagipula, dirumah mertua aku tidak jarang binggung mau melakukan apa, maklum mertuaku belum sreg benar kepadaku kelihatannya.
Tengah malam itu setelah Mas Hamdi pamit melaut, aku langsung kerumah ayah. Tentu saja aku pamit ke mertua utk menengok ayah, kataku pada mereka, ayah sedang sakit. Waktu aku datang ayah sedang mendengarkan siaran radio sambil menghisap rokok tembakau lintingan diruang tamu.
Malam yah.. kok ngelamun sih?” sapaku sambil bergelayut dilengan ayahku.
“Iya sayang.. ayah lagi ingat masa muda Dulu ayahku tetap asyik dengan rokok lintingannya. Dan bibirnya cepat meluncur secuil perjalanan hidupnya yang sebenarnya sudah sering diceritakan pada kami, anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi Narasi jadi nggak nih mijitin saya? jelasnya sayang sama cucu yang masih diperut ini?” aku merajuk menghentikan ceracau ayahku tentang hidupnya.
“iya…iyaaa. tapi sekarang anda mandi lalu sana,” perintah ayahku.
Aku langsung mandi dan terus kekamar ayahku. Saat itu seluruh pakaianku kutinggalkan dan hanya menggunakan kain sarung milik ayah buat menutup tubuhku. Biasanya dikampung ini melilit tubuh dengan sarung sudah jadi rutinitas tiap wanitanya.
“Sekarang berbaring diranjang itu ya sayang, ayah ambilkan minyak kelapa dulu,”ayahku memandangi tubuhku dengan senyuman, lalu meninggalkanku sendirian dikamar, aku pun menunggunya sambil berbaring diranjang. Tak lama kemudian ayah datang mengambil sebotol kecil minyak kelapa.
Benar-benar susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama istrinya,” ayahku berbicara sendiri waktu duduk ditepi ranjang.
“iya, untung saya masih punya ayah yang perhatian ya yah,” Kataku.
Tangan ayah serentak menyibak kain yang kukenakan dibagian atas, sehingga susuku tanpa pembungkus bebeas Tampak Tapi aku sama sekali tak risih karena sejak kecil sampai gadis pun aku sering dilihat mandi telanjang oleh ayah. Jemari ayah yang kasar mulai mengusapi perutku dengan minyak kelapa, sesekali tangannya memijit bagian perutku.
“Tuh kan? Posisi bayimu agak turun, anda tidak jarang merasa sakit ya?” ayah tanya sambil tangannya terus memijit perutku.
“He-eh yah… tidak jarang capek juga kakinya,” jawabku menikmati pijitan ayah.
“Ya sudah, nanti ayah pijitin seluruh badanmu ya,” ayah menyampaikan itu, lalu pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis dan perut.
Sambil dipijit, aku dan ayah tetap ngobrol, mulai masalah harga ikan yang sedang turun, samapi masalah masa lalu ayah dengann ibuku.
Kamu sudah hamil ya sayang,” tanya ayah sambil memeluk dan memegangi perutku dari belakang.
“Iya yah, sebentar lagi saya akan kasih ayah cucu,” jawabku membiarkan ayah tetap memelukku, karena kupikir ayah sangat menyangiku.
Bila mulai hamil, perutmu mesti tidak jarang diusap dan dipijit pelan supaya bayinya nggak turun,” ayah bicara itu sambil mengusap perutku dengan posisi tetap memelukku dari belakang kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk memindahkan makanan utk ayah.
“Si Hamdi tidak jarang mijitin kamu nggak sayang,” ayahku bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Hamdi kan kerja, pulangnya capek mana sempat mijitin saya. Bukannya saya sebagai istri yang mesti mijitin dia?” kujawab ayah dan melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.
Siang itu, seperti umumnya sebelum pulang aku sempatkan buat ngobrol bersama ayahku. Selain mananyakan kebutuhan apa saja yang mesti kubawakan, aku juga kerab berkeluh kesah tentang sikap mertuaku, Ibu Mas Hamdi yang sampi saat itu belum bisa kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu ayah justru membicarakan masalah kehamilanku, masalah perawatan janin diperutku, termasuk masalah harus rajin diusap dan dipijat perutku.
“Nah…suamimu kan nanti malam melaut, anda datang kemari saja supaya ayah bisa pijitin ya,” begitu pinta ayah sebelum aku pulang.
Akupun mengiyakan saja, soalnya biasanya Mas Hamdi pulangnya agak siang setelah melaut. Lagipula, dirumah mertua aku sering binggung mau melakukan apa, maklum mertuaku belum sreg benar kepadaku kelihatannya.
Tengah malam itu setelah Mas Hamdi pamit melaut, aku langsung kerumah ayah. Tentu saja aku pamit ke mertua utk menengok ayah, kataku pada mereka, ayah sedang sakit. Waktu aku datang ayah sedang mendengarkan siaran radio sambil menghisap rokok tembakau lintingan diruang tamu.
Tengah malam yah.. kok ngelamun sih?” sapaku sambil bergelayut dilengan ayahku.
“Iya sayang.. ayah lagi ingat masa muda Dahulu ayahku tetap asyik dengan rokok lintingannya. Dan bibirnya cepat meluncur secuil perjalanan hidupnya yang sebenarnya sudah tidak jarang diceritakan pada kami, anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi Narasi jadi nggak nih mijitin saya? menurutnya sayang sama cucu yang masih diperut ini?” aku merajuk menghentikan ceracau ayahku tentang hidupnya.
“iya…iyaaa. tapi sekarang anda mandi dahulu sana,” perintah ayahku.
Aku langsung mandi dan terus kekamar ayahku. Saat itu seluruh pakaianku kutinggalkan dan hanya memakai kain sarung milik ayah utk menutup tubuhku. Umumnya dikampung ini melilit tubuh dengan sarung sudah jadi rutinitas tiap wanitanya.
“Sekarang berbaring diranjang itu ya sayang, ayah ambilkan minyak kelapa dulu,”ayahku memandangi tubuhku dengan senyuman, lalu meninggalkanku sendirian dikamar, aku pun menunggunya sambil berbaring diranjang. Tak lama seterusnya ayah datang membawa sebotol kecil minyak kelapa.
Benar-benar susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama istrinya,” ayahku berbicara sendiri waktu duduk ditepi ranjang.
“iya, untung saya masih punya ayah yang perhatian ya yah,” Kataku.
Tangan ayah serta-merta menyibak kain yang kukenakan dibagian atas, sehingga susuku tanpa pembungkus bebeas Nampak Tetapi aku sama sekali tak risih karena sejak kecil sampai gadis pun aku tidak jarang di lihat mandi telanjang oleh ayah. Jemari ayah yang kasar mulai mengusapi perutku dengan minyak kelapa, sesekali tangannya memijit bagian perutku.
“Tuh kan? Posisi bayimu agak turun, kamu sering merasa sakit ya?” ayah bertanya sambil tangannya terus memijit perutku.
“He-eh yah… tidak jarang capek juga kakinya,” jawabku menikmati pijitan ayah.
“Ya sudah, kelak ayah pijitin seluruh badanmu ya,” ayah menyampaikan itu, lalu pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis dan perut.
Sambil dipijit, aku dan ayah tetap ngobrol, mulai masalah harga ikan yang sedang turun, samapi masalah masa lalu ayah dengann ibuku.
“Ihh….mmpphh yeaahh, aauhh hhsstt..” aku tak kuasa menahan rasa nikmat dijilati ayah, terus terang sejak kawin dengan Mas Hamdi belum sempat aku diperlakukan seperti itu. Mas Hamdi senantiasa bermain langsung tembak, tanpa rangsangan lebih lalu sehingga selama ini aku sendiri belum pernah merasakan apa yang dinamakan kenikmatan orgasme. jilatan ayah mulai meningkat, kini lidahnya justru sering menelusup belahan bibir vaginaku yang mulai banjir. Cairan bening kental dari vaginaku diseruput ayah seperti menyeruput kopi hangat dari gelasnya.
“Ngghhsstt…yah…Mar nggak bisa nahan…Ouhh..” Aku mulai menggelinjang tak menentu rasanya.
Tetapi diwaktu aku mulai melambung tinggi, ayah menghentikan lagi aktifitasnya di vaginaku membuat aku menggelepar menahan birahiku sendiri.
“Mar… ayah agak sulit masukan air kembang itu ke rahimmu. Tahan sebentar lagi ya,” Katanya.
“Yah.. cepetan ya, Mar nggak kuat lagi, geli sekali yah,” aku merasa semakin lemas karena birahiku dipermainkan seperti itu.
Saat itu berhayal jika Mas Hamdi ada tentu dialah yang dapat memuaskanku dengan penisnya, karena aku merasa sudah siap betul dan ingin sekali buat disetubuhi lelaki. Tapi pikiran itu aku tepis, karena bukankan ayah yang sedang mengobati kandunganku? Aku tak berpikir bahwa ayah pun terangsang saat itu.
Tapi tak lama kemudian kurasakan nafas ayah kembali jelang vaginaku, setelah meneguk air kembang yang nyaris habis dibaskom. Ayah tidak lagi menyemburkan air itu. kurasakan ajaran air itu masuk hingga ke dinding rahimku, rasanya sama seperti saat Mas Hamdi menumpahkan spermanya kala kami bersenggama, Setelah itu bibir ayah melumati bibir vaginaku, lidahnya mulai masuk dibelahan vaginaku membuat nikmat yang sangat dibagian sensitif itu, aku Benar-benar kepayang dibuat ayah. kini jemari tangan ayah turut menyibaki vaginaku, membukanya lebar dan lidahnya menyapi klitorisku dari atas kebawah dan sebaliknya dari bawah ke atas.
“Ouhh…yah….sudahh yahhh, Mar mau kencing rasanya ah…” seluruh sendiku terasa ngilu dan mengembang bersama kedutan dinding vaginaku, aku nyaris sampai puncak orgasmeku
“Iya sayang, sudah selesai kok,” lagi-lagi ayah menghentikan aktifitasnya, tapi saat kubuka mata ternyata kali ini tubuh ayah sudah berada diatas tubuhku dengan bertopang pada dua tangannya.
“Yah…kok ayah begitu? Ouhh yahh..aahh,” belum habis kagetku karena ayah menindih, aku merasakan ada benda keras yang masuk ke vaginaku.
Ternyata ayah sudah melepaskan celananya dan penisnya yang tegang dimasukan ke vaginaku. Aku hendak berontak karena hal itu tabu di kampungku dan dimanapun, bukankah seseorang ayah tak boleh melakukan itu pada anak perempuannya. perang bathin kualami saat itu, aku ingin mendorong badan kekar tetapi aku sudah sangat lemas saat itu. Sementara dorongan birahiku ingin segera terpuaskan dengan senggama bersama lelaki.
“Oohhgg, Mar… anggap saja ayah Hamdi Mar… ouhh ayah nggak tahan,” ayah tetap menindihku dan kini pinggulnya mulai naik turun di atas tubuhku membuat penisnya bebeas ke luar masuk diliang nikmatku yang sudah licin dan becek ileh cairanku sendiri.
“Nghhg…aahssstt. yahh..” aku tak kuasa lagi menolak penis ayah yang mulai mengobati rasa gatal di vaginaku.
Dengan mata terpejam aku malah ikut menyongsong goyang ayah dengan pinggulku. merasa aku tak melawan, ayah pun semakin liar menyutubuhiku, anak kandungnya. Kini sambil menggenjotku, bibir ayah menjalar menghisapi puting susuku, maka senggama kami sempurna dan kenikmatan yang kurasakan pun semakin tak tertara seandainya dibanding senggamaku bersama suami.
Sekalipun usia ayah sudah kepala enam, tatapi kondisi fisiknya masih kuat dan kurasakan penisnya pun masih normal dengan ukuran yang sedikit lebih besar dari punya Mas Hamdi.
“yah…Mar mau kencing yah uuh sstt,”
Sepuluh menit berlalu dalam senggama, kurasakan kenikmatan mulai mengumpul di pangkal pahaku, bongkahan pantatku, ujung-ujung jari kakiku, dan juga di liang nikmatku, kedutan semakin terasa didinding vaginaku, dan akhirnya kurasakan kejang dibagian pinggul sampai kakiku, kakiku kemudian kugunakan untuk menjepit pinggul ayah dan menekannya supaya lebih dalah penisnya bersarang di vaginaku. Tanganku memeluk tubuh berkeringat ayah, sementara kepalaku terangkat dengan bibir menyedok kulit dada ayah. Dalam kondisiku yang puncak itu, ayahpun mengejang dan mengerang diatas tubuhku.
“Ahhgg Mar….Ngghh,” ayah lalu lunglai dan berbaring disampingku yang juga lemas tak bertenaga. Tulangku seakan dicopoti saat itu, namun kuaki itulah kali perdana aku kepuncak nikmatnya senggama.
Malam itu aku tidur bersama ayahku dirumahnya, dan paginya kami seperti melupakan kejadian itu. Akupun pulang kerumah mertua pagi harinya, dan bersikap seperti biasa saat Mas Hamdi pulang melaut.
Kejadian mula-mula bersama ayah, membuat aku agak malu utk datang kerumah ayah lagi.
Sudah dua pekan ini aku tidak menjenguk atau mengantarkan makanan buat ayah. Entahlah,
walaupun sebenarnya aku tak keberatan disetubuhi nikmat oleh ayah, tetapi aku malu kalau
disangka ayah ingin mengulangi kenikmatan itu lagi.
Sore itu, sebelum Mas Hamdi melaut seperti biasa ia meminta jatah dilayani kebutuhan
biologisnya. Sebagai istri kulayani suamiku semaksimal mungkin. Tapi seperti biasa juga, Mas
Hamdi hanya memikirkan kepuasannya saja, dan sudah mengejang menyemprotkan air
maninya sebelum aku merasa terangsang, apalagi orgasme.
“Mhh, aku sayang anda Mar..” Mas Hamdi selalu mengatakan itu sambil mengecup keningku
setiap kali usai menikmati klimaks di atas tubuhku, lalu ia mengenakan kembali pakaiannya dan
meninggalkanku sendiri dikamar, ia pun melaut bersama teman-temannya.
“Hati-hati Mas..,” hanya itu yang kuucapkan melepas bertolak suamiku.
Aku tetap berbaring diranjang tanpa mengenakan kembali pakaianku, rasa kecewa terhadap
suamiku tumpah lewat air bening yang meluncur ditepian mataku. Aku merasa tersiksa dua
minggu ini tiap-tiap kali berhubungan intim dengan suamiku, tersiksa karena tak mendapatkan
nikmat yang maksimal seperti yang kudapat dari ayahku. Setelah suamiku menhilang dibalik
pintu, aku bangkit dan mengunci kembali pintu kamar. Kembali berbaring diranjang tanpa
busana, aku menghayalkan kenangan nikmat bersama ayah. Tak terasa tanganku mulai
meremasi payudara sendiri, sambil membayangkan ada lelaki yang sedang mencumbuiku, aku
pun menjelajahi bagian badan sensitifku sendiri. Tengah malam itu aku mencapai orgasmeku dengan
masturbasi sambil menghayalkan ayahku, lalu tertidur pulas.
Esoknya, pagi-pagi benar sebelum Mas Hamdi pulang melaut, aku menyiapkan makanan untuk
kubawa kerumah ayah. Entahlah, aku ingin sekali kerumah ayah pagi itu.
“Eh kamu Mar.. ayah kira siapa,” kata ayah menyambut ketukan pintuku.
“Iya nih yah, bawakan ayah makanan,” aku menjawab tanpa mampu menatap mata ayah, aku
malu dan jadi canggung pada ayahku sendiri.
Ayah kemudian menyuruhku masuk, dan seperti kebanyakan aku langsung kedapur untuk
memindahkan makanan dirantang yang kubawa kepiring di dapur hunian ayahku.
Macam mana sayang, sudah nggak sakit lagi perutmu?” suara ayah menyapaku, dan aku agak
terkejut kala ayah tiba-tiba sudah mendekap tubuhku dari belakang sambil tangannya
mengusapi perutku yang nampak sedikit membuncit dengan usia kehamilan 3 bulan.
“Eh ayah.. Mar sampai kaget. Kadang-kadang masih tuh yah, tapi agak membaik kok setelah
dipijit ayah waktu itu,” aku bingung mesti menjawab apa saat itu.
Bagaimanakah kalau ayah pijit lagi? biar nggak sakit-sakitan perutmu itu,” nafas ayah tepat
menghembusi tengkukku, membuat aku menahan geli dan merinding.
Sebelum aku menjawab, tangan ayah kurasakan membelai bongkahan pantatku dan mulai
menyingkap naik bagian bawah daster yang kupakai pagi itu.
“Enghh ayah.. jangan lagi ah,” aku mengupayakan menepis tangan ayah dan kembali meneruskan
kegiatanku merapikan piring di meja dapur ayah. Tapi tangan ayah seperti tak mau Berangkat dari
belakang itu ayah malah memasukan tangannya kebalik dasterku dan mengusapi bongkahan
pantatku, sesekali meremasinya.
“Ya sudah, jika nggak mau dipijitin dikamar, ayah pijitin disini saja ya. Anda kan bisa sambil
rapikan piring itu,” ayah semakin berani menyusupkan tangannya kebalik CD ku, maka kini
tangan kasarnya mengusapi pantatku tanpa penghalang. Saat tangan ayah langusng
menyentuh kulit pantatku dengan cara langsung, aku merasakan desiran aneh yang kemudian
memacu libidoku.
Kucoba menahan desiran itu dan tetap merapikan makanan diatas meja dapur, tetapi aku tak
lagi menepis aktifitas ayah, aku membiarkan ayah berbuat semaunya.
“Asshtt yah.. janganhh geli yah,” aku menggelinjang saat bibir ayah mengecup tengkukku, tapi
aku tak mampu menghindarinya.
Kamu merunduk di atas meja ya sayang, slow saja.. biar perutmu cepat sembuh, ayah
pijitin sambil berdiri ya,” ayah menekan bahuku dari belakang maka posisi tubuhku
merunduk dengan kedua tangan meringankan dibibir meja.
Penasaran juga apa yang akan ayah lakukan, aku pun tak bisa menjawab tidak cuma mengikuti
perintah ayah itu. Kini pekerjaan merapikan piring sudah tidak ada lagi, yang ada aku merunduk
pasrah di meja itu, menunggu apa yang akan ayah lakukan Setelah itu